Sejak memutuskan tidak lagi menggunakan perangkat BlackBerry, saya
banyak ditanya teman dekat mengenai keputusan itu. Mereka seolah-olah
terpukau.
"Emang lo bisa nggak pakai BB? Yakin?"
Pertanyaan di atas bukan tanpa sebab. Penduduk kelas menengah ke atas
Indonesia, khususnya Jakarta memang mayoritas menggunakan BlackBerry
sebagai telepon seluler utama mereka dalam berkomunikasi satu sama lain.
Tidak lagi menggunakan BlackBerry seakan meninggalkan sebuah saluran
tempat kita terhubung dengan hampir seluruh orang di lingkungan
terdekat.
Namun toh setelah dua bulan tidak lagi menggunakan BlackBerry, saya masih hidup normal. Semuanya baik-baik saja.
Mengapa saya mengucapkan selamat tinggal BlackBerry? Berikut alasannya.
1) Jaringan sering bermasalah
Dua tahun lebih saya menggunakan BlackBerry sebagai
perangkat utama, dua tahun pula saya harus berurusan dengan jaringan
BlackBerry yang sering kali bermasalah. Entah siapa yang salah —
operator lokal atau jaringan BlackBerry — komunikasi melalui BlackBerry
Messenger kerap tersendat.
Akibatnya, pesan yang saya kirim lambat sampainya, mengakses Internet pun susah bukan main. Email? Sering tidak masuk.
Padahal sebagai pengguna BlackBerry, koneksi Internet adalah tumpuan
utama komunikasi. Tanpa Internet, apa gunanya saya pakai BB? Hampir
tidak ada.
2) Ketergantungan pada BBM
Saking banyaknya BlackBerry digunakan, BlackBerry Messenger
(BBM) menjadi alat komunikasi utama, menggantikan telepon. Alasannya
mudah saja, BBM jauh lebih mudah dan murah dibanding telepon.
Banyak orang menganggap nomor telepon adalah perihal pribadi, namun
tidak PIN BBM. Mereka lebih nyaman membagikan PIN BBM daripada
memberikan nomor telepon.
Padahal BBM ternyata bukan tanpa cacat. Seperti saya sebutkan di poin
satu, BBM juga sering mengalami masalah. Pengiriman pesan di BBM sering
mengalami keterlambatan (pending messages) yang membuat gusar, apalagi
jika dalam keadaan darurat.